Masdan: Pendekar Minang dari Tanah Jawa

Muhammad Masdan hidup sejaman dengan Hadratusysyaikh Hasyim Asy’ari. Umur mereka terpaut dua tahun. Masdan muda, saat itu berumur 15 tahun (1884), belajar di pesantren Tambak Beras, Jombang yang didirikan oleh mbah Shihah. Mbah Shihah ini nama aslinya kyai Abdussalam, beliau dikenal dengan nama “Shihah” karena bentakannya yang keras dan membuat orang gemetar. Nah, ibu dari Hasyim Asy’ari adalah cucu dari mbah Shihah ini. Hasyim Asy’ari sebelumnya tinggal di pesantren ini sampai dia berumur 5 tahun. Kemudian beliau pindah ke pesantren Keras (masih di Jombang) yang didirikan oleh ayahnya.

Di pesantren Tambak Beras inilah Masdan pertama kali mengenal ilmu silat. Sebagaimana tradisi santri di masa itu, seorang santri tidak hanya perlu bisa solat, mereka juga perlu bisa silat. Perhatikan, Masdan belajar di Tambak Beras, bukan Tebu Ireng sebagaimana yang banyak beredar. Saat Masdan belajar, Hasyim Asy’ari juga masih kecil. Kyai Hasyim baru mendirikan pesantren Tebu Ireng pada tahun 1899.

Tahun 1885, saat Masdan berumur 16 tahun, ia mengikuti atasannya pindah ke Bandung. Saat itu beliau bekerja di kantor residen sebagai juru tulis, tidak bergaji namun ada uang saku. Selama di Bandung, kurang lebih setahun, Masdan berkesempatan belajar berbagai aliran silat di Tatar Sunda. Mulai dari Cimande, Cibaduyut, Ciampea, Cikalong — Slewah/Suliwa, Tanah Baru (Sera?), sampai Sumedangan. Tidak ada info detail sejauh mana beliau menguasai setiap aliran silat ini.

Tahun 1886, Masdan pindah ke Batavia. Masih sebagai juru tulis, mengikuti kepindahan atasannya. Karena ia sudah jatuh cinta dengan silat, di Batavia ia pun menyempatkan belajar silat. Tidak jelas aliran apa yang ia pelajari saat itu, namun beliau menyebutnya dengan permainan Betawen, Kwitang, dan Monyetan. Dari namanya, ada kemungkinan Kwitang dan Monyetan ini merupakan salah satu jenis aliran kuntao yang banyak beredar di kalangan Tionghoa saat itu.

Umur 18, ia kembali pindah mengikuti atasannya. Kali ini ke Bengkulu. Namun hanya sebentar, di tahun yang sama (1887) ia pindah ke Padang. Posisinya masih sebagai juru tulis, namun kali ini ia diangkat menjadi pegawai tetap yang bergaji.

Di Padang inilah Masdan tinggal lebih lama. Ia tertarik dengan silat di daerah Minang ini yang berbeda dengan silat di tanah Jawa yang ia pelajari sebelumnya. Di Padang, ia berguru selama 11 tahun kepada Datuk Rajo Batuah. Ia mempelajari permainan silek Pauh, Lintau, Sterlak dan Bayang. Ia juga mempelajari permainan Alang Lawas, Padang Panjang, Padang Alai, juga Padang Sidempuan. Tidak jelas apakah permainan ini ia pelajari dari guru yang sama atau guru yang berbeda. Di Padang pula, Masdan menikah dengan gadis yang ia kenal di sana.

Tiga tahun belajar silat Sunda dan Betawi ditambah sebelas tahun belajar silat Minang, membuat ilmu beladiri Masdan cukup mumpuni. Selesai belajar ke Datuk Rajo Batuah, ia pun mengundurkan diri dari kantor residen tempatnya bekerja. Ia pun pergi ke Aceh untuk bertemu adiknya. Dua tahun di sini, Masdan masih menyempatkan diri untuk menyempurnakan ilmu silatnya.

Tahun 1900, Masdan pulang ke tanah Jawa, tepatnya Batavia. Ia bekerja sebagai masinis di Jawatan Kereta Api. Karena belum juga dikaruniai putra, Masdan menceraikan istrinya. Sang istri pulang ke Padang sementara Masdan pergi ke Bandung.

Tahun 1902, Masdan diterima bekerja sebagai polisi di Surabaya. Ilmu silat yang dikuasainya sangat membantunya untuk mengatasi berbagai situasi kacau, seperti perkelahian atau penggerebekkan rumah judi.

Setelah 13 tahun belajar silat, Masdan pun menciptakan permainan silatnya sendiri. Ia menamakan permainan silatnya dengan nama permainan Joyo Gendilo Cipto Mulyo (Menang Tangguh, Menciptakan Kemuliaan). Nama-nama jurusnya dia ambil dari berbagai nama aliran yang pernah dipelajarinya: Betawen, Cimande, Cikalong-Slewah, Sumedangan, Padang Alai, Lintau, Alang Lawas, Tanah Baru, dsb. Untuk mengajarkan permainan ini ia pun mendirikan perguruan silat yang diberi nama Sedulur Tunggal Kecer (saudara satu perguruan; kecer/pereuh adalah ritual tetes mata sebagai tanda penerimaan murid di penca Subda). Kelak perguruan ini berganti nama menjadi Persaudaraan Setia Hati, dan Muhammad Masdan dikenal dengan nama Ki Ngabehi Soerodiwirjo.

Copyright PERSAUDARAAN SETIA HATI TERATE CAB. PACITAN